Perjalanan
ke Gunung Bromo dari Ranu Pani, dapat menjadi menarik dan penuh tantangan bagi
seorang pendaki berpengalaman sekalipun. Terutama setelah selesai mendaki
Gunung Semeru.
Dari Kota
Malang menuju Tumpang dengan angkutan umum, disambung dengan mobil JIP atau
Truck Sayuran menuju desa Ranu Pani. Di Ranu Pani terdapat Pos pendakian dan
dua buah danau (ranu) yang sangat indah, yakni Ranu Pani dan Ranu Regulo
disebelah bawah. Disini terdapat beberapa warung dan penginapan yang sangat
sederhana. Desa Ranu Pani masuk dalam wilayah kabupaten Lumajang, bisa juga
ditempuh dari kota Lumajang.
Perjalanan
sebaiknya dilakukan pagi-pagi, dengan berjalan kaki menuju Pos jalan pintas
yang berada di ujung desa Ranu Pani menuju Gunung Bromo. Setelah menginap
selama satu malam di Pos Jaga Pendakian, Tim Skrekanek yang telah menyelesaikan
pendakian Gunung Semeru, bergegas memulai perjalanan ke Gunung Bromo.
Perjalanan
dapat dilakukan dengan menyewa JIP dari desa Ranu Pani atau desa Jemplang
dengan tarip Rp.500.000,- lama perjalanan 2 jam, atau memilih berjalan kaki
dengan jarak tempuh sekitar 4 Jam sejauh 12 Km.
Bila
hendak melakukan perjalanan ke gunung Bromo dengan berjalan kaki , Perjalanan
sangat berbahaya bila dilakukan sore atau malam hari, karena jalanan tidak
terlihat dan konon terdapat anjing liar (ajag) yang dapat menyerang kita setiap
saat, sebaiknya membawa tongkat. Anjing liar "Ajag" masih terdapat di
pegunungan Tengger
Setelah
sampai di batas akhir desa Ranu Pani terdapat Pos istirahat yang berada diatas
bukit, tampak pemandangan yang sangat indah kebawah bukit, terlihat jalur yang
menuju Gunung Bromo.
Perjalanan
dilanjutkan dengan menuruni bukit yang sangat curam, kita perlu berhati-hati
karena selain jalurnya sempit juga tertutup oleh semak-semak yang tinggi. Bukit
ini sangat terjal dan memanjang mengelilingi kompleks gunung Bromo, dengan
ketinggian antara 200-600 meter, dan bergaris tengah 8-10 km, membentuk
kaldera.
Terdapat
beberapa gunung di dalam Kaldera antara lain; Gn. Bromo (2.392m) Gn. Batok
(2.470m) Gn.Kursi (2,581m) Gn. Watangan (2.662m) dan Gn. Widodaren (2.650m).
Sesampai
di bawah bukit pendaki akan disambut oleh padang rumput yang cukup tinggi.
Padang rumput ini sangat luas dan memanjang menuju ke Gunung Bromo, diapit oleh
bukit dikedua sisinya, memantulkan suara angin sehingga terdengar agak
menakutkan.
Perjalanan
bertambah berat dengan melewati lautan pasir, matahari tepat berada diatas
kepala terasa sangat membakar kulit. Berbeda dengan angin di padang rumput yang
terasa panas, udara di padang pasir terasa dingin.
Jalur Jip
yang semula terlihat dipadang rumput akan menghilang ketika ditiup angin,
terpaksa Tim Skrekanek memperkirakan sendiri jalan yang harus ditempuh.
Beruntung sekali tidak ada awan atau kabut sehingga arah jalur dapat
diperkirakan.
Semakin
menapak ke lautan pasir kaki terasa agak berat melangkah, jalan yang ditempuh
adalah mengeliling gunung bromo dari belakang, sehingga agak membingungkan.
Sewaktu-waktu bisa muncul badai yang agak besar.
Sesampainya
di sisi Timur Gunung Bromo, tampak jalur menuju puncak gunung Bromo melewati
jalur yang sangat sempit dan berliku-liku. Menuju puncak Gunung Bromo di tengah
hari yang sangat panas cukup melelahkan. Jalurnya naik turun dan bisa longsor
sehingga perlu berhati-hati. Mendekati puncak bromo sudah tercium bau belerang.
Dari
puncak bromo tampak kawah Gunung Bromo yang masih aktif , di dasar kawah
terlihat warna keemasan belerang dan kepulan asap putih yang menjulang ke atas,
menyebarkan bau belerang.
Untuk
naik atau menuruni Puncak gunung Bromo pendaki bisa memilih melewati jalan
setapak yang dibangun dari semen, dan mencoba menghitung jumlah anak tangga. Di
bawah anak tangga sudah menunggu beberapa kuda untuk disewakan.
Di bawah kaki
Gunung Bromo terdapat sebuah pura untuk mengadakan upacara adat dan keagamaan.
Di gunung Widodaren terdapat sebuah gua dengan batu besar di dalamnya sebagai
tempat orang bersemedi dan sebagai tempat untuk menyimpan sesajen. Di dalam gua
ini mengalir mata air yang tidak pernah kering yang dianggap sebagai
"Tirta Suci
MITOS GUNUNG
BROMO
Pada
Zaman dulu di sekitar Gn. Pananjakan, tinggal seorang pertapa mempunyai seorang
anak laki-laki yang dinamai Joko Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.
Pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang wajahnya cantik dan elok. Bayi
itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang
tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng. Ketika sudah dewasa Rara Anteng sudah
terpikat hatinya kepada Joko Seger.
Suatu
hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti, kuat dan
sangat jahat. Rara Anteng tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang
sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung dalam
waktu 1 malam. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak
akan memenuhi permintaannya.
Disanggupinya
permintaan Rara Anteng tersebut. Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan
dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai.
Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Ia mencari cara
untuk menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu?
Rara
Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan
gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai
bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba.
Bajak
mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga
nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib
sialnya. Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu
dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah
menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok.
Rara
Anteng pun akhirnya menikah dengan Joko Seger. Namun setelah beberapa lama
berumah tangga belum juga dikaruniai keturunan. Mereka naik ke puncak gunung
Bromo untuk bersemedi agar karuniai keturunan. Tiba-tiba ada suara gaib yang
mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah
mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung
Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian
didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega
bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger
ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka,
kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo
menyemburkan api.
Kesuma
anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo,
bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :"Saudara-saudaraku
yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi
menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi.
Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji
kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun
temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di
Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.